Minggu, 16 Februari 2014

Arsitek dan Persoalan Perumahan

Berapa harga rumah dengan luas 36 meter persegi (Tipe 36) saat ini? 
Di Tangerang, rumah tipe 36 yang disediakan pengembang besar terkemuka saat ini memiliki harga pasaran 100000000 – 110000000 rupiah. Bingung ngitung jumlah nolnya kan? Saya juga. Harganya sekarang Rp 100jutaan . Sedang tipe 38 didaerah Cibubur dengan induk pengembang yang sama, harganya 242,4 juta. Itu jika tunai, jika kredit KPR (bunga/Riba) maka harganya menjadi 260jutaan.
 

Itu artinya rata-rata harga rumah di Tangerang adalah Rp 2.7juta-3juta setiap 1m persegi lantai bangunan (tanpa memperhatikan luas tanah), sedang di Cibubur harganya Rp 6.3 juta per meter persegi. Harga disetiap dapat berbeda, karena harga juga dipengaruhi salah satunya lokasi, dimana setiap lokasi memiliki perbedaan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang berbeda pula. Contoh di Pekanbaru, rumah tipe 96 luas tanah 105m2 memiliki harga jual tunai 1,05 milyar. Yang artinya harga jual rumah di Pekanbaru tiap 1 meter persegi lantai adalah Rp 10,9 juta. Walaupun daya beli rata-rata masyarakat Pekanbaru tinggi (pendapatan perkapita penduduk Provinsi Riau ada pada urutan ketiga tertinggi se-Indonesia [1]), Saya tidak tahu ini dalam batas kewajaran atau tidak.


Heyy,,Saya masih newbie dalam dunia praktisi, masih kurang mengetahui harga tanah suatu daerah serta harga yang disebut ‘wajar’ :P. Tapi yang jelas menurut Pak Mamo, hal ini adalah kedzaliman dan beliau merasa terganggu. Sudah merasa terganggu. Beliau menyebutkan bahwa dengan harga tanah yang sekian (tidak disebut) lalu rumah dijual dengan harga begitu tinggi. Dan masyarakat menerima saja.

Yak, rumah-rumah tersebut laku dipasaran. Ada dua kemungkinan mengapa masyarakat menerima saja: pertama karena memang tidak mengetahui, kedua tidak ada pilihan.

Masyarakat tidak mengetahui, dengan harga demikian mereka seharusnya mendapatkan lebih. Kita tahu bagaimana perumahan sekarang, utamanya tipe kecil, rumah dibuat berjejer kanan-kiri. Kemudian karena rumah tipe kecil kurang memadai ruangnya sementara kebutuhan ruang terus bertambah seiring bertambahnya tahun dan jumlah anggota keluarga, maka masing-masing pemilik menambah luas rumah pada tanah yang tersisa hingga habis (walaupun mungkin menyalahi aturan). Bagaimana kualitas ruang bagi penghuninya? lingkungan-sosialnya? Mengalir seperti air. Dan air bisa mengalir ke genangan comberan, bisa pula ke arah sungai yang mengalir. Maksud saya, umumnya pada perumahan sekarang ini tidak ada ‘perangkat’ yang disediakan atau didesain bagi penghuni nantinya agar lingkungan-sosialnya cenderung berjalan kearah yang baik. Akhirnya ini menjadi tergantung pada penghuninya saja nanti. Syukur-syukur jika penghuni-penghuninya nanti suka gotong royong, dengan tetangga baik-baik, anak-anaknya bisa main bersama dirumah atau halaman (kalau ada), satu sama lain. Jika tidak?

Yang saya tangkap, intinya, harga seperti contoh diatas tidak wajar, dan jika memang harga yang ada harus demikian maka semestinya pengembang juga bisa menyediakan kualitas lingkungan yang lebih positif. Apalagi pengembang tersebut merupakan pengembang besar.

Kedua, karena masyarakat ‘tidak ada pilihan’. Bandingkan harga rumah tipe 36 walau harga 100 juta, sudah jadi (praktis), bisa didapat dengan kredit bunga (yang sebenarnya termasuk riba), dan bisa langsung ditempati. Sedangkan jika membuat rumah sendiri kurang praktis karena terutama mengumpulkan uang dulu bertahun-tahun sampai terkumpul membeli tanah, bisa membeli bahan dan membangun bertahap, dan selama itupun tidak bisa ditempati dan harus mengontrak/sewa rumah dulu, karena rumahnya belum jadi. Tentu masyarakat umum lebih memilih membeli rumah dari pengembang dan hanya sebagian kecil yang memilih membangun sendiri. (Saya tidak bicara soal konsekuensi keimanan, karena jika negara kita bukan negara sekuler, tentu harusnya negara memberi pemahaman tentang riba kepada masyarakat, dan yang tidak kalah penting, mengawasi, serta didukung para ahli menyediakan fasilitas/perangkatnya bagaimana agar sistem ekonomi berjalan tanpa bunga/riba)[2].

Oh iya saya belum menyebutkan ya, rumah tipe 36 sempat dijadikan sebagai tipe rumah terkecil yang diijinkan untuk dibangun pengembang (dibawah tipe 36 tidak boleh dibangun). Dikutip dari rumah.com, Menteri Perumahan Rakyat mengatakan bahwa sebenarnya tipe 36 yang ditetapkan pemerintah, masih jauh dibawah standar negara lain. Seperti di Malaysia tipe minimal luas rumah adalah 60 meter persegi, Singapura 90 meter persegi, dan Australia 260 meter persegi[3]. Namun tahun 2012 lalu MK membatalkan pasal yang mengatur hal tersebut, yaitu pasal 22 ayat 3, UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP). Hal ini karena tidak semua masyarakat dinilai mampu membeli rumah tipe 36 dan tipe diatasnya terutama Masyarakat Berpenghasian Rendah[4].

Miris memang ternyata tipe 36 saja masyarakat kita belum mampu. Akan tetapi dengan harga seperti di paragraf awal tulisan, Masyarakat Berpenghasilan Rendah mana yang bisa membeli rumah seharga 100juta sekalipun hanya tipe 36?

Perumahan-perumahan yang umumnya kurang memperhatikan kualitas lingkungan-sosial, harga jual rumah yang tinggi, sementara permintaan terhadap rumah tetap tinggi merupakan gejala. Gejala yang selama ini berulang.

Jika suatu permasalahan terus berulang, sebagaimana ujar Prof. Fahmi Amhar, maka berarti akar permasalahan tersebut sebenarnya sudah masuk ke level sistemik. Level sistemik bisa bersifat sistem-teknis, bisa pula sistem-non teknis. Dalam hal ini sistem-teknis bisa berarti desain tipe rumah yang baru, layout rumah-rumah yang berbeda, dsb. Sedang jika permasalahan terkait dengan keserakahan manusia yang ingin mengambil untung besar dari kondisi perlunya masyarakat akan rumah, ketiadaan aturan dalam menetapkan harga/subsidi bagi MBR, atau aturan sudah ada tapi tidak ditaati, pejabat abai dalam pengawasan regulasi, dsb. maka berarti permasalahan sudah menyangkut sistem-non teknis. Ini menyangkut banyak pihak dan seringkali ini diluar kendali arsitek. Arsitek dalam hal ini tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas sendiri dari bidangnya saja.

Walau demikian, dengan mulai bergelut sebagai praktisi arsitektur, mudah-mudahan permasalahan dari segi sistem-teknis akan coba diatasi dengan desain dan ‘penjajakan langsung’ nantinya. Dimulai dari studi kemungkinan layout rumah-rumah yang lebih memperhatikan lingkungan-sosial sekaligus masuk akal bagi pengembang, riset sederhana perbandingan tipe-tipe rumah,dll. (yang cukup membuat saya bingung), serta studi desain tipologi rumah. Belum selesai, dan bagi saya sendiri masih abu-abu. Mudahan saya bisa terus ikut berkontribusi sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak nantinya.

<bersambung>




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_Indonesia_menurut_PDRB_per_kapita (diakses 16/2/2014)
[2]
[3] http://www.rumah.com/berita-properti/2012/3/566/menpera-rumah-tipe-36-masih-di-bawah-standar-inter (diakses 16/2/2014 )
[4] http://www.tribunnews.com/bisnis/2012/10/04/hore-rumah-di-bawah-tipe-36-boleh-dibangun-lagi (diakses 16/2/2014)


nb: Percayalah, saya tidak percaya saya menulis ini. Semasa kuliah, tidak tahu kenapa dari semua mata kuliah, mata kuliah saya yang nilainya paling rendah justru Pengantar Perumahan Permukiman dengan nilai C+. Tapi sekarang, mengetahui bahwa ini mungkin akan bermanfaat banyak bagi orang banyak, saya merasa ini akan menarik B)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar