Sabtu, 09 Mei 2015

Jakarta


Penumpang Kereta Api Listrik (KRL) Jakarta bersiap turun di salah satu stasiun transit. Gerbong lengang karena bukan jam berangkat/pulang kerja (Jumat, pukul 10.20). Foto diambil setelah melewati pusat-pusat keramaian Jakarta. Ini sudah di wilayah Jakarta Utara.

Saya suka Jakarta.... Dari kejauhan.

Maksud saya, saya suka hanya jika berkunjung sesekali. Alasannya sederhana, acara-acara besar workshop, pameran/expo, konferensi, atau bahkan masyiroh/aksi gabungan, seringkali diadakan di Jakarta. Contoh, untuk Rapat dan Pawai Akbar* nanti, untuk yang wilayah jabodetabek, acaranya diadakan di Jakarta.

Atau seperti kemarin, saya berkesempatan ikut expo dan workshop The Big 5, expo konstruksi terbesar dari 5 negara, di Jakarta International Expo (JIE). Katanya sih JIE tempat biasa Jakarta Fair diadakan. 'Katanya', sebab saya belum pernah juga datang ke Jakarta Fair.

Saya ingat perkataan dosen saya dulu waktu kuliah, kurang lebih kata beliau begini,
"Kota yang baik adalah kota yang memampukan nenek-nenek tua sekalipun bisa jalan-jalan keliling kota sendirian, naik angkutan umum dengan aman dan nyaman"

Jadi saya tidak akan bercerita tentang Expo kemarin yang hampir semua workshop dan exhibitornya berbahasa Inggris dengan aksen beragam. Walau ini jadi perbincangan seru bagi rombongan kantor kami bertiga di kereta ketika pulang karena ada beberapa kejadian lucu.

Nah, terlepas dari seringnya diadakan acara besar di Jakarta. Ada bagusnya juga saya kemarin datang ke Jakarta berkereta. Dengan kemarin, berarti sudah 2x saya naik kereta ke Jakarta. Pertama ketika ikut masyirah perempuan dan syariah. Kedua saat ikut expo ini. Kali pertama, saya pastikan saya tidak sendiri berkereta Jakarta.

Sebab sudah beberapa kali saya mendengar dari Mba Beuteu betapa kejamnya dunia perkeretaan Jakarta (apa tho ini...). Apalagi saat ada berita heboh soal si dinda vs ibu hamil, yang kemudian menyumpah di path karena mesti menyerahkan tempat duduk di kereta bagi si ibu hamil. Terkonfirmasi. Kereta Jakarta memang sadis.

Kali pertama itu, saya akhirnya berangkat berdua. Nunggu di Stasiun Bogor lumayan lama. Cukup untuk memperhatikan beragam jenis orang di stasiun termasuk mesranya beberapa pasangan lansia yang keluar masuk stasiun sambil pegangan tangan. Yah lumayan nyaman walaupun harus berdiri. Naik gerbong wanita, hari minggu. Bukan hari dan jam kerja, jadi ternyata tidak sesadis yang dibayangkan. Gerbong lengang, saya dan teman bisa duduk sampai tujuan. Turun di Stasiun Sudirman. Masih nyaman. Dalam stasiun dan luar stasiun cukup rapi. Pulang dengan jalur kereta yang sama dan jenis gerbong yang sama, tapi Penuh. Rupanya barengan anak-anak tanggung yang baru pulang dari konser artis korea (- -!). Berdiri sepanjang jalan kurang lebih sejam setengah.
 
Kondisi gerbong saat penumpang turun-naik di stasiun transit. 
Kali kedua kemarin beda cerita. Hari kerja. 08.15 saya sampai di Stasiun Bogor. Kisaran 08.30 berangkat, gerbong biasa. Pa Heru bilang ada untungnya saya telat. Kereta sebelumnya (jam 8) penuh sesak, karena di stasiun padat. Berangkat dari bogor bertiga, kami masih bisa duduk karena gerbong cukup lengang. Walaupun sampai Depok dan seterusnya kereta jadi sesak sampai Pa Heru harus berdiri mempersilakan perempuan lain duduk. Saya dan Mba Beuteu mah bisa duduk terus selama 2 jam perjalanan :D. Sampai di Stasiun Kemayoran, baru lanjut taxi ke JIE.
kondisi gerbong dengan dengan view sebaliknya dengan view ke kursi prioritas untuk ibu hamil, ibu dengan anak, orang tua dan penyandang disabilitas.  Sepertinya saya ketahuan memfoto dua foto sebelumnya diatas, terlihat dari raut wajah mas-mas yang terfoto - -. Itu mas-mas bersarung dan berkopiyah duduk di kursi prioritas.

Mungkin karena terlalu excited, dan takut gak keburu karena terlambat, saya tidak terlalu mengamati Stasiun Kemayoran. Yang tertangkap, saya turun dari gerbong dengan platform yang terlalu rendah. Jadi turun kaya meloncat aja dari gerbong. Lumayan kerasa agak kaget juga, karena menghentak di kaki. Eh ternyata tinggi dikirain kereta dan platform hampir selevel. Padahal dibelakang saya tadi ibu-ibu lumayan tua. Liat ke ujung, ada tambahan beberapa podium yang bisa dipindah untuk mmbantu turun dari gerbong. Ga tau ibunya loncat juga, atau lebih memperhatikan dan turun lewat gerbong lain. Di depan stasiun banyak bajaj parkir dan beberapa mikrolet yang lalu lalang.

Pulang dari expo, naik taxi lagi menuju Stasiun Jakarta Kota. Pertimbangannya, di Kemayoran mungkin sudah tidak ada kereta. Sebenarnya kami sudah cukup pertimbangkan juga waktunya. Kalau bisa jangan sampai bareng jam pulang kerja, jam 4-jam 5. Jadi jam 15.15 kami sudah out dari expo. Sampai stasiun jam 4 kurang. Jalan cepat hampir lari dari halaman stasiun ke dalam. Jadi sorry, no photo. Nanti saya ambil dari google saja.

  (Sumber: wikipedia ) Stasiun Jakarta Kota dengan mikrolet-mikrolet biru parkir di depannya. Ingat si Doel-Mandra  jadinya..
Di Jakarta Kota ini, 'pengalaman ruangnya' lebih terasa. Bangunan lama, gaya kolonial, sudah terlihat dari jalan. Lebih-lebih saat berjalan di halaman stasiunnya. Harus menyelinap diantara mikrolet yang parkir dan pedagang asongan yang menjual makanan, minuman dan barang-barang kecil. Disertai bau pesing. Mengingatkan saat ke kawasan Pasar Baru Jakarta, di suatu daerah dekat tepi sungainya. Tidak ada sungai di Stasiun Jakarta Kota, tapi ada bukti yang cukup jelas bahwa orang BAK sembarangan disana.

Saya lihat ada ibu-ibu berdagang kue roti sejenis banana bollen di tepi-tepi pagar stasiun. Sebenarnya penasaran, kok banyak yang jual jenis itu di sana, tapi nggak tega dengan kondisi sekitar yang lumayan tercium 'aromanya'. Juga, dari obrolan dengan orang-orang di kantor jauh hari dulu, kesimpulan yang saya dapatkan: jangan pernah makan dan jajan sembarangan di Jakarta. Oke.

Sekilas lihat sambil jalan cepat, dekat pintu stasiun ada juga yg jual hp-hp bekas. Di jajar di atas box yang ditaruh di atas tanah. Pedagangnya sendiri jongkok. Sedang ngobrol dengan orang yang sedang jongkok juga di sebelahnya.
Ini negative thinking, jangan ditiru. Entah kenapa kata yang terlintas di benak saya ketika melihat hal tersebut: benda copetan, mafia, preman. Sempat-sempatnya juga mikir, apa jadinya kalau ada orang kehilangan hp, terus menemukan yang sama disana, mungkin ga berani juga kali ya sekedar mengecek hpnya apa bukan.

Intinya, saya kira ruang yang negatif memicu kita untuk berpikir dan merelasikan segala sesuatu ke hal negatif lainnya. (pembelaan)

Oke cukup sampai disitu. Bagian dalam stasiun tidak terlalu buruk ternyata. Kesan nostalgianya terasa ramah. Hanya 3-4 menit saya bisa mengamati selama menunggu Mba Beuteu antri tiket dan sambil jalan ke kereta. Kami harus bersegera masuk kereta, karena sudah pas jam 4. Dan benar saja, tempat duduk kereta sudah penuh. Kami jalan sampai lumayan ujung kereta untuk menemukan gerbong dengan kursi kosong. Tapi memang sudah tidak ada kursi kecuali kursi prioritas.

Dari Jakarta Kota gerbong masih cukup lengang tapi di stasiun-stasiun berikutnya dengan cepat kereta jadi penuh sesak. Ibu tua yang baru masuk dari stasiun transit di sebelah saya berdiri, sementara seorang bapak paruh baya gendut buncit duduk di kursi prioritas sejak dari Jakarta Kota. Bersama dua orang ibu hamil. Masih ada lagi satu ibu hamil yang baru masuk, tapi harus berdiri. Saya negative thinking lagi, dari awal saya curiga, ini bapak penyandang disabililitas bukan. Ketika satu ibu hamil yang berdiri bertanya kursi prioritas dan mau duduk disana, ibu-ibu tua dan bapak-bapak disebelah saya bilang "semua (kursi priorotas) sudah penuh (ibu) hamil". Baru saya ngeh, oh mungkin bapak ini memang cacat. Karena bapak gendut ini diam saja. Tapi saya nahan senyum sendiri, walau perut beliau juga besar, masa bapaknya juga disebut hamil.

Di tengah hampir akhir perjalanan, ibu hamil yang satu mungkin ngomong dengan si bapak gendut di sebelahnya. Dan bapak gendut akhirnya berdiri mempersilakan untuk si ibu hamil lain yang sudah sedari tadi berdiri di tengah padat sesaknya orang-orang, untuk duduk.
Jadi sebenarnya sih masih misteri, ini bapak disabel apa bukan. Saya juga tidak tau, karena ketika menjelang sampai bogor/ stasiun terakhir. Ini bapak duduk lagi di kursi prioritas, dan masih tetap duduk sampai saya keluar gerbong.

Oh iya ibu-ibu tua disebelah saya akhirnya keluar dari kereta ketika berhenti di salah satu stasiun transit. Mau turun ganti kereta. Kata beliau, "gak tahan" (harus berdiri terus dikereta yang sesak).

Yah, saya senang sekali ke Jakarta. Suka Jakarta. Tapi cukup dari kejauhan, sebagai orang yang sesekali datang. Kalau untuk tinggal, atau harus rutin setiap hari bolak-balik kesana? Kayaknya nggak. Bogor, is much better**.


Bogor, 09 Mei 2015


------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Rapat dan Pawai Akbar (RPA), acara besar Hizbut Tahrir Indonesia bersama ummat. Dengan tagline Indonesia Milik Allah, untuk mengedukasi, memahamkan dan lebih membumikan opini Syariah Khilafah di Masyarakat. Indonesia milik Allah, maka sudah seharusnya kita menerapkan aturan Allah. Diadakan dilebih 30an kota besar seluruh Indonesia, secara estafet dari 10 Mei, sampai nanti 30 Mei di Jakarta sebagai acara puncak. Untuk acara di Jakarta ini saja, target peserta mencapai 150 ribu orang.

**Serius, saya harus lanjut lagi belajar Inggris. Pengalaman di expo, masih belum bisa productive speaking. Paham ketika orang bicara, tapi belum terlalu bisa merangkai kata. Masalahnya tidak semua exhibitor ternyata ujug-ujug menjelaskan. Kasus Pa Heru, bahkan kata beliau, beliau kayak jadi 'maling' aja. Ngambil brosur dan sampel/ contoh produk, lalu karena diajak ngomong bahasa Inggris, langsung kabur aja untuk nyari kami, teman sesama bingung beliau. Hahaha.
posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar