Kamis, 04 Juni 2015

Satu Bulan & Seprai Nenek

Sebulan, sampai akhir bulan kemarin ini, banyak hal-hal yang telah terjadi. Tapi bukankah setiap waktu memang banyak hal-hal yang terjadi? Tinggal kita saja sebagai manusia yang mau apa tidak mengambil pelajaran dan hikmah atas segala sesuatu. Dan bukankah segala hal yang baik atau hal yang buruk semuanya adalah kebaikan bagi seorang yang beriman?

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Segala perkara yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya, maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila keburukan menimpanya, dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” [HR. Muslim]

Terutama minggu kemarin, beberapa hal satu sama lain terjadi dalam waktu yang lumayan dekat. Sampai saya merasa bias perasaan. Harusnya sedih tapi tidak lebih sedih daripada ketika saya masih anak kecil. Semoga dengan menulis ini bisa menjadi renungan dan pengingat bagi diri.

Saya mulai menulis tulisan ini sebenarnya sudah sejak akhir bulan lalu. Di perjalanan bersama rombongan kantor ke BCI award futurarc, tulisan belum selesai. Lalu lanjut menulis diperjalanan dini hari ke agenda besar dakwah, Rapat dan Pawai Akbar di GBK, belum selesai pula. Hingga akhirnya sekarang bisa diselesaikan, di kos.


Ada sebuah scene yang saya alami sewaktu kecil. Mungkin kelas dua atau tiga SD. Saya masih ingat betul scene ini, bukan soal kapannya tapi apa yang terasa saat itu. Di SD kampung di kota, sangat sederhana sebagaimana SD biasa lainnya di Banjarmasin waktu saya kecil dulu. Bangunan berjendela kawat, berdinding kayu yang mulai lapuk dan bolong dibeberapa bagian.

Pelajaran agama Islam diberikan oleh bapak guru. Saat itu materi akidah. Bapak guru menjelaskan bahwa agama yang diridhai Allah hanya Islam. Hanya orang-orang yang beriman dan beramal shalih yang bisa selamat di akhirat nanti dan mendapat ganjaran surga. Sebaliknya yang tidak Islam, tidak beriman, dan tidak beramal sholih, tidak selamat dan akan dibalas Allah...


***

Sebagaimana kebanyakan orang Toraja, nenek saya dari bapak adalah non muslim. Begitu pula kakek saya. Kakek sudah lama meninggal, waktu umur saya sekitar 3 tahun. Jadi saya tidak terlalu paham dan ingat kalau pernah ikut ke Penajam sewaktu kakek meninggal. Hanya tau dari foto jadul di album dan cerita mama. Beda hal dengan nenek. Walaupun jarang sekali liburan ke tempat nenek, tapi beliau masih ada sampai saya besar.

Beberapa waktu kemarin saat mengikuti suatu acara dengan format gala dinner mewakili kantor bersama rombongan, saya jadi teringat nenek dan jadi terpikir; Saya betul-betul bukanlah cucu yang berbakti.

Berbeda dengan kakak saya yang juga cucu kesayangan nenek. Kakak saya bahkan memilih tinggal "di Kaltim, dekat dengan nenek. Sementara saya semakin jauh di seberang pulau. Ketika akan berangkat ke Bogor, nenek di ujung telepon berkata, "semua cucu jauh-jauh. Nanti saya mati tidak ada yang bisa datang".

Lalu ditengah-tengah acara tersebut saya juga teringat, sebelum berangkat ke Bogor, nenek menitipkan seprai kain katun bagus warna putih. Katanya untuk saya bawa ke bogor. Seprai jaman dahulu, yang kata mama- yang tahu banyak soal perkainan - masih bagus kainnya dan bagus kualitasnya. Sekarang sudah jarang atau tidak ada lagi orang menjual seprai dengan kain seperti itu. Karena itu pula mama bilang, "ini ditinggal aja (dirumah) ya?" Ini kainnya nanti juga susah dicuci kalau dikos, kainnya berat. Perawatannya susah, sayang (kalau rusak). Kurang lebih begitulah.

Jadi kata siapa saya bukan termasuk cucu kesayangan? Saya kira nenek perhatian kepada semua cucunya-terlepas bagaimanapun kondisi beliau. Adapun soal cucu yang tidak berbakti seperti saya maka itu benar adanya. Nenek bukan lah orang berada. Rumah nenek di kampung, di kota kecil Penajam. Rumah dari kayu, panggung, yang sederhana. Hidup dari gaji pensiunan bulanan kakek. Jadi, Seprai dengan bordiran motif bunga itu pasti termasuk seprai kesayangan, yang lama disimpan. Lalu dilungsurkan ke saya yang akan pergi merantau ke seberang.

Minggu kemarin, nenek meninggal.


***

Waktu saya kecil, saat Pak Guru menjelaskan bahwa hanya muslim beriman beramal shalih yang diganjar surga dan bisa selamat di akhirat, anak kecil pemalu karena khawatirnya waktu itu memberanikan diri mengangkat tangan bertanya, "Pak, nanti ketika di surga bisa ngga misalnya, minta dengan Allah, supaya memasukan juga nenek ke surga?"
Pak guru menjawab, "tidak bisa". Berkaca-kaca dan merembes air dari kedua mata.

Nek, maafkan saya yang tidak ikut menelpon kemarin. Lebih lagi, maafkan karena sama sekali tidak ada usaha sekedar mengenalkan Islam kunjungan beberapa tahun lalu.

Entah kenapa dulu tidak tersampaikan. Apakah ketakutan, ataukah keacuhan berselubung toleransi? Sehingga ridha bahwa keluarga tetap dijalan yang dimurkai Allah? Astagfirullah...
posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar