Ini adalah tiket acara yang saya janjikan dari lama ceritanya. Dari tanggal acara 15 Maret, baru sekarang bisa menulis untuk blog karena laptop saya rusak (alasan :P). Sempat diperbaiki kemudian rusak lagi, sampai ternyata sudah lewat 2 bulan! Baiklah karena sekarang sudah bisa, mudah-mudahan saya masih bisa menceritakan ini dengan baik, dari catatan yang ada.
Seminar simposium ini diadakan di Grand Indonesia,
Jakarta. Awalnya saya tidak tahu seminar yang bagaimana yang akan dihadiri ini.
Hanya diberitahu kalau semua sangat disarankan ikut acara dengan pengecualian
untuk saya. Bu Mita bilang 'Harus', karena kemarin Saya dapat tugas mempelajari
project untuk kompetisi. Selain karena bos menjadi salah satu pembicara, alasan
semua diajak ikut seminar yaitu karena pembicara lain adalah Kei Minohara, dan
Sou Fujimoto. Kebetulan keduanya asal Jepang, tapi sudah melanglang buana ke
mana-mana. Kei Minohara adalah urban planner yang dikenal dan sangat dihormati
di Jepang. Sou Fujimoto adalah arsitek muda yang karyanya sudah tersebar
dibeberapa negara, Beberapa desainnya fenomenal dan terkenal. Ia adalah murid
dari Toyo Ito, dan menurut Pa Mamo ini berpengaruh dan dapat terlihat pada
desain Fujimoto. Menurut beliau pula, arsitek ini cepat sekali berkembangnya dan
solusi desainnya cerdas. Beliau terlihat antusias menjadi pembicara bersama Sou
Fujimoto, bahkan beliau bilang sebenarnya nervous
karena sama-sama harus jadi pembicara :D. Intinya Ini acara sangat
direkomendasikan karena bisa belajar dari arsitek lain, seperti Sou Fujimoto, yang
kapan lagi bisa ke Indonesia.
Kei Minohara
Di seminar, Kei Minohara memberikan presentasi tentang ‘Modernization process of Japanese housing,
past & present’. Ia menceritakan bagaimana Jepang, negara yang Ia sebut
rice country dengan perumahan dan
bangunan struktur kayu pada awalnya, mengalami jatuh bangun berulang kali
karena bencana besar yang dialami. Baik karena karena perang, mapun karena bencana
alam seperti gempa bumi yang berulangkali. Bencana-bencana ini menjadikan
Jepang berkali-kali membangun ulang, tak jarang dari awal. Disetiap apa yang
dihadapi tersebut, Jepang seringkali belajar dan menjadikan negara-negara lain
sebagai model. Terutama karena perumahan merupakan kebutuhan mendasar apalagi
dalam kondisi pasca bencana, menjadikan Jepang
harus menangani dengan cepat dan efektif. Pada akibatnya apa yang
disebut proses modernisasi adalah proses dimana perumahan Jepang dalam urutan
sejarah jatuh bangunnya, mengambil hampir keseluruhan model dari luar. Dari kota-kota
di Eropa; London, Paris, Berlin, Swedia, Stoklhom, hingga Amerika. Sampai
kemudian dalam timeline sejarah arsitektur dan kota, Pruit Igoe di Amerika
Serikat, yang diawal kemunculannya dianggap sebagai lambang kemodernan, gagal dan diruntuhkan. Modernitas telah gagal. Namun demikian Jepang telah
menjalani proses modernisasi tersebut.
42 tahun yang lalu, saat masih muda Minohara pernah ke
Jakarta. Dan kali ini berkesempatan ke Jakarta lagi, Ia menyayangkan bahwa sekarang
Jakarta telah berubah. Ia berkata, “No
sense of place”, dan di mana-mana Shopping Center & Mall. Dalam hal
ini, proses modernisasi perumahan Jepang semestinya dapat menjadi model. The bad model, contoh yang
buruk dimana Indonesia dapat
mengambil pelajaran atasnya untuk pembangunan Indonesia yang sustainable/ berkelanjutan.
Itu yang saya tangkap dari penjelasan Pak Minohara. Mudahan
ga salah ya, maklum, kemarin ga ada penerjemah apalagi subtitlenya. XD
Adi Purnomo
Saya akan menceritakan secara singkat saja karena sebenarnya
presentasi Pa Mamo hanya sebagian kecil yang saya catat ^^!>
Pa Mamo menjelaskan apa yang beliau bawa dengan
desain-desain. Diawal beliau mencoba mengajak peserta untuk berpikir apa itu
interior, apa itu eksterior. Dan bahwa apa yang kita sebut ‘eksterior’ dalam
arsitektur itu, ruang diluar rumah-rumah kita dan bangunan itu, sebenarnya
adalah interior dari dari galaxy, alam semesta. Maka bukankah definisi interior
dan eksterior itu ternyata hanya tentang
perbandingan skala?
Desain yang beliau tampilkan untuk
menjelaskan hubungan interior-eksterior ini diantaranya adalah Rumah Tangkuban Perahu,
yang merepresentasikan konsep bercampurnya interior dan eksterior. Studi-O Cahaya, rumah tinggal seorang fotografer yang didesain dengan
konsep mencoba bermain- main memasukan cahaya ruang luar. Villa ordos (Ordos,
Monggolia), villa dengan lokasi bersuhu ekstrim -40 derajat hingga 40 derajat
Celsius (bayangkan bagaimana hubungan interior-eksterior pada bangunan tinggal
dengan suhu ekstrim?). Disini beliau menampilkan foto saat survey site yang
ternyata didalamnya adapula Sou Fujimoto ikut terfoto :D. Villa Lau Kawar (Medan)
yang menunjukan relasi pada alam. Mempertanyakan apa itu interior, apa itu
eksterior saat sebuah rumah sudah
terhubung dengan alam? Desain lain diantaranya yaitu Museum Tsunami (Aceh, Kompetisi) yang mencoba mengajak
pengunjung merenungi kekuatan alam, Disaster Prevention Center (Istanbul,
kompetisi), serta Earth Day Installation (2010), tentang
immateriality-materiality dimana
immateriality pada desain ini adalah pergerakan/ movement. Sedikit bocoran,
desain-desain diatas termasuk yang akan dibukukan nantinya.
Sou Fujimoto
Membawakan presentasi tentang alam dan arsitektur. “Between
nature & architecture… Not divide but to connect”. Tentu saja Fujimoto juga
menjelaskan hal tersebut dengan desain-desainnya. Beberapa desain yang
dipresentasikan untuk mejelaskan tema yang ia pegang diantaranya adalah
Serpentine Pavilion (2013, London), NA House (Jepang), Solo House (Spanyol),
House N (Jepang), Montpellier tower (Prancis). Saya akan menjelaskan sebagian saja dari desain-desain
tersebut secara singkat. Sisanya silahkan googling sendiri B).
Serpentine Pavilion, adalah desain dengan konsep dimana
arsitektur menjadi sepetri lansekap. Seperti lansekap, pengunjung dapat
memanjat, melakukan aktivitas, menikmati sinar musim panas di London (setau saya dari novel-novel ataupun film, sinar
matahari di London adalah hal yang disenangi karena lebih seringnya langit
berwarna kelabu, ataupun hujan). Idenya adalah bagaimana mem-frame atmosfer, memframe
suasana. Serpentine pavilion adalah desain yang sangat konseptual, tapi berhasil terealisasi. Dengan ini Sou Fujimoto menjelaskan bahwa “the
connection inside-outside was primer in architecture”.
NA house adalah salah satu desainnya yang juga fenomenal
(atau kontroversial?). Konteksnya adalah rumah ini memiliki site plot yang
kecil. Solusinya? Ia membagi ruang-ruang tinggal menjadi lebih kecil lagi
(divide the smaller living space floor). Hasilnya adalah 21 ruang yang asik.
Solusi yang sebenarnya simple, sederhana namun mengena. Saya sebut ide simpel
tapi ngena itu cerdas. Saya tahu,
karena saya bagian riset dan studi desain, dan diawal-awal kerja saya
mengerjakan studi perumahan. Dan mendesain rumah sangat kecil tapi efektif dan
tidak konvensional itu sulit. Studi tersebut bahkan belum selesai.
Catatan Tambahan
Membandingkan Adi Purnomo dan Sou Fujimoto (arsitek dengan
arsitek. Membandingkan arsitek dengan urban planer rasanya ga pas aja, ga apple to apple istilahnya), entah kenapa
saat Sou Fujimoto menjelaskan, hal yang melintas dikepala saya adalah: “Dia sudah
punya jawaban”. Jika Adi Purnomo adalah seorang ‘filsuf’, seseorang yang bertanya-tanya
dengan segala kemungkinan dalam arsitekturnya, maka Sou Fujimoto adalah seseorang
yang sudah punya jawaban tetap.
Catatan tambahan lagi, bagi saya semakin jelas penting
sekali seorang arsitek islam paham hukum syara’, seperti konsep tentang kehidupan
khusus (hayatul khos), dan kehidupan umum (hayatul amm). Terutama dalam
mengatur konsep inside-outside dalam
rumah tinggal. Bagaimana menghubungkan arsitektur dengan alam, tetapi syara’
tetap terjalankan?
Saya ambil contoh NA house Fujimoto. Solusinya ‘divide to
smaller space’ adalah cerdas. Namun, sebuah rumah dengan dinding kaca yang memperlihatkan
kehidupan khusus penghuninya, dalam sudut
pandang islam tidaklah dibenarkan. Terkecuali penghuni mengenakan hijab
sepanjang waktu. Tentu saja menjadi wajar karena kliennya bukan muslim, kemudian
pandangan hidup orang Jepang terhadap alam dan dirinya sebagai satu kesatuan
bagian (saja) juga ikut berpengaruh disini. Bedakan dengan konsep Islam yang
walaupunjuga menganggap manusia dan alam juga adalah kesatuan yang sama
(sama-sama ciptaan Allah), namun ada konsep aurat, ada konsep kehidupan khusus
dan umum, ada peraturan yang mengatur pergaulan dan hubungan laki-laki dan
perempuan (nizhom ijtima’i).
Maka disini saya kira arsitektur juga tidak bebas nilai.
Maksud saya, tanpa pengetahuan, tanpa pembanding bagaimana pandangan Islam dan bagaimana
pandangan pandangan selain Islam, arsitek
Islam bisa terjebak. Kemudian mengadopsi pandangan selain Islam, menerapkan
pada desain dan pada kehidupannya. Menuntut Ilmu Islam itu penting.
Tambahan lagi:
In syaa Allah jika ada update tulisan baru, akan saya kabari
di twitter saya ini atau di akun facebook saya ini. If you enjoyed this post,
monggo, silahkan saja share di facebook atau twitter dengan klik tombol dibawah
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar