Waktu kecil di Banjarmasin, Saya lumayan sering ikut ke pasar tradisional di Wildan. Berbelanja bersama Mama Nisa, mama kedua tempat saya dan saudara-saudari saya dititipkan sejak kecil karena kedua orang tua kami mengajar di sekolah sampai siang. Mama Nisa ini orang Banjar. Mungkin karena dari kecil sekali kami diasuh orang Banjar, kami akhirnya ikut-ikutan memanggil kedua orang tua kami “Mama” (Orang Banjar menyebutnya dengan tekanan di bagian akhir, seperti diberikan huruf hamzah tanda sukun di belakang: Mama’) dan “Abah. Walaupun sebenarnya ibu orang Jogja dan Bapak orang Tator yang lahir di Balikpapan. Supaya lebih mudah sebut saja kalau saya ini; sepertiga Jogja, sepertiga Toraja dan sepertiga Banjar.
Pasar Bogor. Ini area di depan Pasar Bogor Yogy* Departement Store. Macet. Area ini biasanya tempat saya keluar dari area pasar tradisional di lorong jalan depan Yogy* |
Banjar, punya budaya tutur, bukan budaya tulis. Karenanya bahasa Banjar tidak punya skrip/ huruf-huruf simbol bahasa tulis sebagaimana bahasa Jawa ataupun bahasa Sunda. Tapi orang Melayu Banjar memiliki budaya “bapantun” (berpantun). Cerita Airin teman saya yang orang Kalua (Melayu Banjar di Pahuluan (pedalaman/ hulu) Kalimantan Selatan) sampai dia SMA pun, dia masih sering berbalas pantun dengan teman-temannya sambil dilagukan. Isi pantunnya biasanya bercanda atau saling ejek untuk lucu-lucuan.
Makanya wajar, logat Kalua bisa dibilang logat Banjar yang paling mendayu-dayu. Untuk soal logat dan kehalusan bahasa ini, agak mirip kasusnya dengan Sunda. Yang semakin ke dalam dan jauh dari muara, bisa dibilang bahasa Sundanya semakin lemes mendayu dan halus. Bahasa dan logat Sunda orang Bandung dan Sukabumi yang di daerah pedalaman /gunung lebih lemes dan halus dibandingkan Bogor yang lebih dekat Muara (walaupun sebenarnya masih jauh juga). Sama seperti bahasa Banjar Kalua dan Kandangan yang lebih mendayu dan halus dibandingkan bahasa orang Banjarmasin. Jadi Bogor Banjarmasin 11-12 laah… Agak mirip.
Yang tidak mirip, pasarnya. Sebenarnya Saya agak heran, katanya ada stereotip umum kalau orang Sunda itu orang yang senang dekat keluarga (ini masih positif), tidak ngoyo, tidak suka pergi jauh-jauh merantau, dan yang tidak positifnya disebut –maaf- agak malas dan bukan pekerja keras. Yah seperti Si Kabayan lah gambarannya.
Tapiii, apa yang saya temukan di Pasar Bogor kok agak sedikit berbeda dan membuktikan bahwa stereotip tersebut- khususnya yang bagian akhir tidak terlalu benar juga ternyata.
Suara Pasar Bogor lebih riuh dibandingkan Pasar Banjarmasin. Para pedagang dengan agresif menyasar pembeli menawarkan barang dagangan dengan suara nyaring, kalau tidak disebut berteriak. Suara pedagang seperti bersahutan. Saya besar tidak pernah lagi ke Pasar Sederhana di Wildan. Tapi kalau sedang di Banjarmasin berbelanja mingguan mengantar mama ya juga ke pasar tradisional, di Kayu Tangi yang lebih dekat rumah sekarang. Bisa dibilang Pasar tradisonal Banjarmasin itu ‘sunyi’dan ga ada apa-apanya soal keriuhan. Terkecuali ada pedagang VCD di pasar yang sedang memutar musik dangdut.
Riuhnya suara pedagang Pasar Bogor menunjukan, kata siapa orang sunda tidak agresif?? Mereka, para pedagang Pasar Bogor ini bahkan promo secara massif. nyaring, berulang-ulang, seperti dilagukan.
Di Pasar Kayutangi, Banjarmasin, tidak semua menawarkan dagangan secara langsung, kebanyakan hanya menunggu caolon pembeli datang atau sibuk dengan pembeli dan mengurus dagangan yang ada. Jika menawarkan juga tidak sampai berteriak, hanya ajakan lemah lembut seperti; “cari apa ding? ayo masuk liat dulu”. Kalau ke Pasar Martapura juga begitu. Walaupun pedagang Pasar Martapura hampir semua menawarkan dagangan, tapi ya tetap tidak sampai bersuara nyaring seperti Pasar Bogor.
Ini area pasar tradisionalnya. Tipikal pasar tradisional Indonesia, becek. Tapi saya tetap suka, yang penting murah (gaya berpikir emak-emak banget udah - - ) |
Kemungkinan lain, karena pedagang Pasar Bogor ini , di outdoor/ luar ruang. Sementara Pasar Kayutangi di dalam ruang. Tapi toh pedagang yang tumpah sampai ke luar di pasar Banjarmasin juga tidak semunya berseru nyaring. Pedagang Pasar Martapura di bagian belakang menjual bahan-bahan makanan dan juga diluar juga tidak seriuh Pasar Bogor walau tetap menawarkan dagangan ke calon pembeli.
Ini sekaligus menunjukan, bahwa adanya budaya tulis bukan berarti tidak punya budaya tutur. Jadi ceritanya, budaya bisa kita lihat dan dianalisis dari cara para pedagang pasar yang menawarkan barang dagangan* :P.
Pertama ke Pasar Bogor, saya bertekad, pokoknya lain kali kalau ke pasar Bogor mesti sambil merekam suara suasana pasarnya. Supaya pengalaman ruangnya bisa lebih terasa. And... I did it! Tapi mohon maaf, akan saya posting belakangan. Untuk sementara tulisan gambarnya ini dulu. Ini juga lumayan susah, karena harus sabar dengan internet modem yang lelet untuk upload beberapa gambar. Berkali-kali upload euy…! Plus, saya harus belajar dulu cara nge-embed audio player untuk memutar audio di blog. Barangkali ada yang berbaik hati mau memberitahukan caranya atau ngasih linknya hehehe.
Pasar Bogor 'diluar' Pasar tradisionalnya (Pasar tumpah di jalan raya) |
________________________________________________________________
*Sunda punya wayang golek! Saya tidak yakin tapi sepertinya mewayang, bercerita dengan boneka, juga termasuk budaya tutur, kan?